Saturday, January 21, 2017

LAGENDA NAGA TAPAK TUAN


Alkisah, seperti hari-hari sebelumnya, kedua naga itu kembali berenang ke laut mencari makan. Mereka meluncur menyusuri kawasan pinggir pantai menuju ke daerah barat. Mereka membelah ombak lautan yang bergulung-gulung.
Setelah kedua naga itu berenang beberapa saat, mereka melihat sekelompok udang besar yang sedang berenang menuju ke muara sungai. Kedua naga itu berenang semakin cepat. Setelah dekat dengan kelompok udang, dihirupnya air laut kuat-kuat sehingga seluruh udang masuk ke dalam perut mereka. Hingga sekarang, tempat itu disebut 'Desa Air Berudang' dan termasuk salah satu desa di daerah Tapak Tuan.
Suatu ketika, sepasang naga itu sedang berjalan-jalan menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, terpegun memerhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Perlahan-lahan gelombang laut membawa titik hitam itu mendekati ke arah sang naga. Si Naga Jantan dan Betina terus memerhatikan titik hitam itu.
Dari tengah lautan, mereka mendengar suara tangisan bayi. Suara tangisan itu semakin lama semakin kuat dan jelas. Sepasang Naga itu pun berenang mendekati titik hitam tersebut di tengah lautan.
Sang Naga terkejut apabila mengetahui titik hitam itu adalah bayi manusia yang sedang menangis, diumbang-ambingkan gelombang di dalam sebuah buaian yang terbuat dari anyaman rotan. Anehnya, buaian rotan itu tidak dimasuki air.
Pasangan Naga ini sangat gembira kerana mendapat seorang puteri berbentuk manusia. Konon naga itu memang sudah lama mengidamkan seorang puteri. Kedua Naga itu sangat menyanyangi puteri mereka. Malah, Naga betina selalu memeluk puteri kecil agar tidak hilang.
Demikianlah, waktu terus berganti. Dari hari ke hari, bayi itu membesar dengan normal dan sihat sebagaimana bayi manusia lainnya. Puteri kecil tersebut diberi nama Puteri Bungsu.
Naga Jantan buatkan tempat bermain nan indah di gunung itu. Semua buah-buahan dan minuman tersedia di sana. Semua itu dilakukan agar Puteri Bungsu terus tinggal bersama mereka.
Pada suatu hari, kedua naga itu membawa puteri kesayangan mereka berjalan-jalan menikmati pemandangan daerah Teluk yang indah mempersona.
Sang Puteri dinaikkan ke belakang Naga Jantan yang telah bersedia mengharungi kawasan pantai Teluk. Naga Betina berenang mengiringi dari belakang. Sang Naga betina itu sangat cemas jika puteri cantik rupawan itu terjatuh dari belakang naga jantan dan tenggelam.
Dalam diam sang Puteri melontarkan rasa kekagumannya. Dia suka melihat keindahan alam pantai Teluk. Demikianlah keadaan sang Puteri, dia terhibur selalu dengan sikap kedua naga itu.
KEBENARAN TERBONGKAR
Waktu terus berganti, Puteri Bungsu pun merangkak remaja. Dia menetap bersama naga di sebuah gua yang dalam. Suatu hari, sang Puteri Bungsu secara tak sengaja mendengar perbualan sepasang Naga itu. Dari luar gua dia terus mendengar perbualan itu. Dia tersentak. Sedar, bahawa dirinya bukan keturunan naga. Dia memiliki orang tua yang juga berasal dari bangsa manusia.
Niat untuk melarikan diri pun muncul dalam benaknya. Puteri Bungsu tidak terburu-buru. Dia bersabar untuk menunggu waktu yang tepat melarikan diri dari gunung itu. Dia takut akan kesaktian kedua naga tersebut.
Waktu yang dinantikan pun tiba. Dari atas gunung, Puteri Bungsu melihat sebuah kapal berlayar di bawah kaki gunung itu. Gunung ini memang tepat berada di depan laut. Naga Jantan ketika itu sedang tertidur di pinggir laut. Perlahan dia mengangkat kaki, sedikit menjinjing agar langkahnya tidak di dengari Naga Jantan.
Perahu layar semakin dekat. Dia bimbang. Teringat akan kesaktian naga tersebut. Jarak Naga Jantan beristirehat dengan laut sangat dekat. Khuatir diketahui, dia pun membatalkankan niat untuk lari dari gunung itu.
Siang malam Puteri nan cantik jelita itu mencari akal. Akhirnya idea bernas pun muncul di kepalanya. Satu hari, dia mengajak pasangan Naga berjalan-jalan menyusuri pantai di pulau itu. Setelah pulang, sang Naga kepenatan dan tertidur.
Puteri Bungsu tak sia-siakan peluang emas itu. Kakinya menuju ke atas sebuah bukit kecil yang dekat dengan laut agar dia dapat melihat perahu yang melintas.
Jarang sekali perahu yang mahu mendekati ke pulau itu. Namun hari itu Puteri Naga bernasib baik. Sebuah perahu kecil merapati. Dia melambaikan tangan. Awak perahu pun menyapanya.
Perahu itulah yang membawa Puteri Bungsu pergi, Putri Bungsu naik ke atas perahu dan ikut bersama awak perahu itu. Naga yang baru terbangun dari tidur, terkejut. Putri kesayangannya telah pergi. Dalam benaknya, Naga menyangka, pasti perahu itu yang melarikan puteriku.
TUAN TAPA MELAWAN NAGA
Sepasang Naga itu mengejar perahu tersebut. Sementara itu, di Gua Kalam, tidak jauh dari bukit itu, seorang manusia sedang bertapa. Dia tersentak dari pertapaanya. Seakan dia sedar akan ada bencana besar di bumi. Inilah Tuan Tapa. Tuan Tapa terkenal dengan tongkat saktinya.
Dia keluar dari gua tersebut. Lalu menatap ke lautan lepas. Terlihat sepasang Naga yang dalam kemarahan sedang mengejar sebuah perahu nelayan.
Hal itu menyebabkan terjadinya pertarungan sengit antara kedua naga dengan Tuan Tapa. Mereka bertarung untuk merebut Putri Bungsu.
Ketika Naga Jantan melancarkan serangan berikutnya, Tuan Tapa menyambut dengan libasan tongkatnya. Tubuh naga pun terpelanting ke udara dan jatuh berkeping-keping di pantai. Darah dari tubuh naga jantan yang hancur itu tumpah ke serata tempat, di tanah, batu-batuan dan lautan.
Naga Betina pun mula menyerang Tuan Tapa, namun serangan itu dapat dipatahkan oleh Tuan Tapa, meskipun tongkat dan topi Tuan Tapa tercampak ke laut.Hingga sekarang tongkat dan topi itu masih ada dan telah menjadi batu yang terdapat di kawasan pantai Tapak Tuan.
Naga Betina yang gagal melarikan Puteri Bungsu mengamuk sambil melarikan diri ke negeri China. Dalam pelariannya itulah, Naga Betina membelah sebuah pulau di kawasan Bakongan hingga menjadi dua bahagian, dan hingga sekarang pulau itu bernama Pulau Dua.
Haiwan itu juga mengamuk sambil memporak-perandakan sebuah pulau. Pulau itu terpecah-pecah hingga 99 buah. Hingga kini disebut pulau banyak yang terdapat di Aceh Singkil.
Akhirnya Tuan Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Puteri pun dapat kembali bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka. Mereka memilih menetap di Aceh. Kewujudan mereka di Tanah Aceh diyakini sebagai permulaan penduduk di Tapak Tuan.
Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit. Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada bulan Ramadhan Tahun 4 Hijrah . Jasadnya dikuburkan di Gunung Lampu, tepatnya di depan Masjid Tuo Kelurahan Padang, Tapak Tuan, dan hingga sekarang makam manusia keramat itu masih boleh kita lihat hingga saat ini.
Makam Tuan Tapa
Hingga sekarang bekas tubuh naga yang berupa gumpalan darah itu masih dapat kita lihat di pantai berupa tanah dan batu yang kemerahan. Kini disebut dengan Tanah Merah. Batu Merah, sekitar tiga kilometer dari kota Tapak Tuan. Kini gumpalan darah dan hati tersebut telah mengeras menjadi batu.
Sedangkan hati sang Naga, yang pecah dan terlempar menjadi beberapa bahagian akibat pukulan tongkat sakti Tuan Tapa, peninggalannya hingga sekarang masih terlihat berupa batu-batu berwarna hitam berbentuk hati. Daerah ini kemudian diberi nama Desa Batu Hitam.
Pada waktu Tuan Tapa hendak membunuh sang naga, terjadi kejadian kejar-mengejar antara Tuan Tapa dan sang naga. Maka pada suatu ketika, berbekaslah tapak kaki Tuan Tapa ini. Sekarang yang masih terlihat hanya sepasang tapak kaki sangat berjauhan, dibatasi oleh gunung tempat naga tinggal sebelumnya. Jejak tapak kaki tersebut, seperti jejak seseorang yang melangkahi gunung kerana tak dapat ditemui jejak yang sama di antara kedua jejak tersebut.
Ukuran jejak kaki tersebut adalah 3 x 1.5 meter. Jejak kaki yang sebelah kanan, berada di pinggir laut di atas sebuah batu. Sedangkan jejak kaki sebelah kiri berada di dalam kota di atas tanah. Antara jejak satu dan yang satunya lagi lebih kurang berjarak 500 meter. Diberilah nama daerah yang terdapat jejak “Tapak Tuan Tapa” itu dengan nama kota “Tapak Tuan”, atau juga sering disebut “Kota Naga Tapak Tuan”.
Di tempat pertempuran Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Tongkat mirip baru itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa.
Bagaimana nasib sang Puteri? Beberapa tokoh masyarakat di daerah itu menceritakan, dalam legenda tersebut dikisahkan sang Puteri akhirnya kembali hidup normal dan hidup bahagia bersama kedua orang tuanya. Puteri Bungsu kemudian mendapat julukan sebagai ‘Puteri Naga’.
Disebabkan kisah ini, ramai menggelarkan Aceh Selatan sebagai Kota Naga. Malah, jika masuk ke kota Tapak Tuan, kita dapat lihat ukiran gambar naga di dinding pinggir jalan.
Kredit: soalaceh

-Debu-

No comments:

Post a Comment